Menilik Sejarah Dibalik Kemegahan Bangunan Taman Sari

Sejarah Dibalik Kemegahan Bangunan Tamansari, Yogyakarta.

Foto: Jogjaprov.go.id


Jendela Edukatif – Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak destinasi wisata menarik di setiap sudut kotanya.  Terutama berbagai wisata budaya yang lekat dengan peninggalan sejarah dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Salah satu di antaranya ialah Situs Tamansari yang terletak 500 meter dari arah barat daya istana Sultan. Tamansari tepatnya berlokasi di komplek Rukun Kampung Taman, Kecamatan Kraton, Yogyakarta. Dengan luas lebih dari 10 hektar, Tamansari memiliki 57 bangunan di dalamnya. Bangunan-bangunan tersebut terdiri atas gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, danau buatan, pulau buatan, masjid, hingga lorong bawah tanah.



Sejarah Tamansari 


Dikutip dari laman resmi Keraton Jogja, Tamansari memiliki arti “taman yang indah”. Tamansari dahulu diprakarsai oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1684 kalender Jawa atau tahun 1758 masehi. 

Desain Tamansari didasarkan pada gagasan dari Sri Sultan Hamengku Buwono I, kemudian gambar teknisnya dikerjakan oleh Demang Tegis, seorang arsitek berkebangsaan Portugis yang diduga datang dari wilayah Gowa, Sulawesi. 


Tamansari sering disebut sebagai Istana Air atau water castle yang memiliki nilai arsitektur dan keunikan pada lekukan-lekukan bangunan dan air yang terisi di kolam. Istana air yang dikelilingi segaran atau danau buatan dengan wewangian dari bunga-bunga yang sengaja ditanam di pulau buatan di sekitarnya. Dilansir dari Kompas.com, Tamansari didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I sebagai tanda penghargaan atas jasa permaisurinya yang telah banyak turut menderita sewaktu Sultan Hamengku Buwono I melakukan peperangan Giyanti. 



Fungsi Tamansari 


Dikutip dari laman resmi Keraton Jogja, Tamansari memiliki tiga fungsi utama. Selain sebagai tempat rekreasi, Tamansari juga berfungsi sebagai tempat pertahanan dan tempat melakukan aktivitas religi.


Sebagai tempat pertahanan atau perlindungan, dapat dilihat dari struktur bangunan Tamansari yang memiliki tembok tinggi dan tebal yang mengelilinginya sebagai benteng. Kemudian terdapat bastion atau tulak bala untuk menaruh persenjataan. Tamansari juga dilengkapi dengan beberapa tempat penjagaan para prajurit dan abdi dalem. Pulo Kenanga di Tamansari berfungsi sebagai tempat peninjauan apabila musuh datang karena posisi bangunannya yang tinggi. Selain itu, Tamansari juga memiliki urung-urung atau jalan bawah tanah yang dapat menghubungkan dari satu tempat ke tempat lainnya, yaitu Margi Inggil ke Pulau Kenanga; Pulo Kenanga ke Sumur Gumuling;  dan Sumur Gumuling ke Gerbang Segaran sisi barat Tamansari. 


Tamansari memiliki tempat yang berfungsi sebagai tempat aktivitas religi dan meditasi bagi sultan, yaitu Pulo Panembung dan Sumur Gumuling yang berada di tengah segaran. Sumur Gumuling dengan bentuk melingkar difungsikan sebagai masjid, sedang Pulo Panembung digunakan oleh Sultan sebagai tempat untuk melakukan meditasi. Pulo Panembung berada di selatan Pulo kenanga dan Sumur Gumuling berada di barat Pulo Kenanga.


Selain sebagai tempat beraktivitas religi, Tamansari juga menjadi tempat rekreasi dan peristirahatan bagi keluarga Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dahulu, Sultan Hamengku Buwono I bersama keluarganya menggunakan Tamansari untuk berkumpul, belajar, bermain musik, hingga melakukan kegiatan nginang. Tamansari juga berfungsi sebagai kolam pemandian tempat berendam atau dapat disebut pesanggrahan bagi Sultan Hamengku Buwono I dan keluarganya. 


Pada tahun 1974, tepatnya pada 1 April, Sultan Hamengkubuwono IX mulai membuka diri kepada masyarakat dengan menjadikan Tamansari beralih fungsi sebagai tempat wisata agar masyarakat dapat mengenal langsung kehidupan keluarga Keraton. Tujuan dibukanya Tamansari sebagai tempat wisata adalah agar masyarakat mengenal dan mengetahui sejarah peninggalan-peninggalan budaya dalam Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.



Sumber: 

KratonJogja.id

Detik.com

Kompas.com

Laman Dinas Kebudayaan DIY



Penulis: Syarah Adelia Nakano, Sabicha Ulinuha

Editor: Aurelius Fransisco


Post a Comment

0 Comments