Rumah Maggot Migunani : Mengatasi Darurat Sampah Lewat Ulat

Tampak dari Larva Lalat Tentara Hitam (Black Soldier Fly/BSF) atau Maggot sebagai Solusi Penguraian Sampah Secara Cepat, Rumah Maggot “Migunani”, Sleman, Yogyakarta
Sabtu (2/12/2023).

Foto: Aurelius Fransisco

Darurat Sampah di Yogyakarta


Berdasarkan data yang tercatat oleh Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2022, D.I. Yogyakarta melampaui posisi Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. Pada tahun sebelumnya SIPSN mencatat total timbulan sampah D.I. Yogyakarta sebanyak 133.629,74 ton. Sedangkan tahun 2022 D.I. Yogyakarta menempati urutan nomor satu sebagai daerah dengan timbulan sampah terbanyak yakni sebesar 269.628,46 ton sampah. Hal tersebut menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan mengingat terdapat kenaikan dua kali lipat total timbulan sampah yang terdapat di D.I. Yogyakarta. 



Menurut data SIPSN tahun 2022, timbulan sampah di terbanyak berasal dari sampah Rumah Tangga sebesar 53,34%. Komposisi jenis sampah yang paling banyak ditemukan tahun 2022 adalah sampah sisa makanan sebanyak 35,57% dan jumlah tersebut meningkat sebanyak 4,4% di tahun berikutnya.


Dilansir dari Kompas.com, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta mendapati adanya kenaikan jumlah sampah yang dibuang ke Sungai Code, Sungai Winongo, dan Sungai Gajah Wong. Setelah pembersihan sampah harian yang rutin dilakukan oleh DLH Kota Yogyakarta, kondisi sungai-sungai di Kota Yogyakarta diketahui semakin kotor dan lebih parah dibanding dua bulan yang lalu. Ditambah, musim kemarau mengakibatkan penurunan debit sungai sehingga banyak sampah yang tersangkut. 


Very Tri Jatmiko selaku Kepala Bidang Perencanaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup DLH Kota Yogyakarta menjelaskan, "sampah tertahan di jembatan Surokarsan. Saat kita lakukan gerakan bersih sungai, kita menemukan itu 4 ton sampah. Itu dilakukan kurun waktu hanya 2 jam di satu titik." 


Gerakan bersih sampah tidak serta merta menyelesaikan masalah. Hal tersebut lantaran sampah masih dibuang ke sungai sehingga sampah terus datang dari sisi utara setelah dibersihkan, jelas Very ketika diwawancarai Kompas.com di Balai Kota Yogyakarta, Selasa (24/10/2023). 


Sementara itu DLH Kota Yogyakarta dan masyarakat setempat telah bersepakat untuk melakukan pemasangan jaring agar sampah yang hanyut di sungai dapat tersaring. Very juga menambahkan jika edukasi  dan diskusi dengan masyarakat  sangat diperlukan untuk menangani persoalan sampah yang menumpuk  di sungai secara jangka panjang. 



Mengenal Rumah Maggot “Migunani”


Dalam menghadapi lonjakan sampah yang dihadapi Yogyakarta, terdapat berbagai hal dan berbagai peran yang diambil oleh masyarakat. Salah satu contoh nyata dari peran masyarakat dalam menghadapi darurat sampah adalah dengan didirikannya Migunani, sebuah rumah biokonversi dan budidaya maggot. 


Dilansir dari IPB Digitani, maggot adalah istilah yang merujuk pada tahap larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF) atau Hermetia illucens. Lalat ini menjalani siklus hidup yang melibatkan tahap maggot (larva), prepupa, pupa, hingga menjadi serangga dewasa. Morfologi maggot (larva) ditandai oleh warna putih atau kekuningan serta memiliki tubuh yang lembut.


Rumah Maggot Migunani merupakan sebuah rumah budidaya maggot yang dibangun untuk pengelolaan sampah organik yang terletak di RT 01, Padukuhan Sinduharjo, Ngaglik, Sleman. Migunani didirikan pada bulan Juli 2023 oleh warga RT setempat dengan bekal lahan milik RT serta dukungan dari masyarakat. 


Pengurus Rumah Maggot “Migunani”, Edy Setyawan sedang memindahkan Larva Lalat Tentara Hitam (Black Soldier Fly/BSF) atau Maggot, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (2/12/2023).

Foto: Aurelius Fransisco

Rumah Biokonversi Maggot ini semula didirikan sebagai bentuk inisiatif warga untuk membantu pengolahan sampah. Namun, pengelola kemudian menyadari segi ekonomis dari budidaya maggot yang dinilai cukup menguntungkan. “Selain untuk dimanfaatkan warga kebetulan dari segi ekonomis juga menguntungkan karena bisa dijual maggotnya,” ungkap Edy, salah satu pengelola Migunani, Sabtu (2/12/2023). 


Edy menjelaskan, Migunani beroperasi dan dikelola oleh warga RT.01. Pada awal berdirinya, para pengelola berusaha untuk mengedukasi masyarakat melalui pertemuan warga yang diadakan secara rutin dan juga melalui media sosial. Mereka mengadakan berbagai sosialisasi dengan tujuan untuk secara perlahan mengubah pola pikir dan meningkatkan kesadaran warga.  


Mekanisme dari Rumah Maggot sendiri berjalan ketika warga setempat datang dan menyetor sampah-sampah rumah tangganya, kemudian sampah-sampah tersebut diurai oleh maggot yang dibudidayakan. 


Pengelola Migunani tersebut menambahkan, seiring berjalannya waktu, Migunani juga terbuka bagi khalayak umum yang ingin menyetorkan sampah mereka. “Sebenarnya darimana aja boleh, cuma kita prioritaskan untuk rt sini dulu,” jelasnya. 


Tutupnya TPS Piyungan dan fenomena darurat sampah turut berdampak signifikan pada rumah biokonversi satu ini. Edy memaparkan warga dari RT lainnya turut menyetor sampah hingga mencapai status overloaded selama kurang lebih satu bulan dan juga menciptakan bau menyengat. Migunani menghadapi tantangan tersebut dengan menyediakan bak composter yang kemudian diolah dan dikompos sehingga secara perlahan, mekanisme semula dapat berjalan kembali. 


Setelah berdirinya Rumah Maggot Migunani yang telah berjalan selama 6 bulan, Edy Setyawan mengungkapkan kebiasaan untuk membuang sampah sembarangan sudah sangat menurun pada kawasan lingkungannya. “Di kampung sini edukasi warga sudah bagus. Sungai sudah bersih dan tidak ada masalah dari warga sini,” tambahnya. 


Pengelola Rumah Maggot Migunani berharap pada akhirnya semua sampah organik, khususnya pada RT.01 Padukuhan Sinduharjo dapat terurai dan dari lingkup kecil dan upaya masyarakat ini, dapat kemudian disebarluaskan ke area lainnya. 


Mendalami Rumah Maggot “Migunani”


Setiap hari, penduduk sekitar Rumah Maggot aktif terlibat dalam pengelolaan sampah, menyumbangkan sampah organik mereka ke dalam ember atau wadah yang telah disiapkan. Dalam proses ini, sisa makanan dan sayuran yang tak terpakai diolah secara unik, yakni melalui penguraian oleh maggot.


"Pengolahan sampah gak bisa diolah tapi kita tampung. Jadi efeknya bau sekali, maka itu kita udah gak bisa handle. Makanya maggotnya masih sedikit kemarin itu, jadi gak mampu mengurai cepat, terus melonjak sampahnya," ungkap Edy Setyawan, saat ditemui di Rumah Maggot “Migunani”, Sabtu (2/12/2023).


Dalam usahanya menghadapi kendala aroma tidak sedap yang muncul selama proses pengolahan, Rumah Maggot menerapkan sebuah langkah agar limbah atau sisa makanan dapat ditempatkan di dalam drigen. Dirigen terbukti efektif dalam mengurangi bau yang tidak sedap," kata Edy.


"Kami ada dirigen itu di luar, itu yang dirigen itu bagus untuk menjaga. Agar nanti pembusukan sisa-sisa itu dapat diwadahi disitu dan baunya tidak kemana-mana," tambah Edy.


Kasgot atau bekas belatung hasil dari penguraian sampah organik, menjadi komoditas berharga bagi Rumah Maggot. Kasgot menjadi sumber yang bernilai sebagai pupuk organik dalam pertanian karena kandungannya yang melibatkan unsur nitrogen, fosfor, dan kalium.


Siklus hidup maggot dimulai dari telur, menetas menjadi baby maggot, hingga akhirnya dapat dipindahkan ke biopore setelah mengering. Proses ini memiliki siklus hidup sekitar 40 hari. Selain itu, banyak juga permintaan khusus untuk maggot yang masih kecil.


"Kalau (maggot) untuk pakan ternak itu biasanya usia dua mingguan. 20 hari itu usianya yang standar untuk pakan ternak, cuman kalau untuk mancing dan sebagainya itu mintanya yang kecil," jelas Edy.


Maggot tidak hanya berfungsi sebagai solusi dalam manajemen sampah, tetapi juga memainkan peran penting dalam proses penguraian limbah kotoran hewan. Sebagai contoh, Kebun Binatang Suraloka memanfaatkan maggot untuk menguraikan limbah kotoran hewan mereka.


"Maggot ini kan makannya cepat banget, penguraian cepat sekali. Dikasi makan gitu paling dua jam atau tiga jam habis," tambah Edy Setyawan.


Tantangan baru muncul bagi Rumah Maggot seiring dengan tingginya permintaan terhadap produk mereka. Awalnya, mereka mengalami kesulitan dalam pemasaran produk, namun kini mereka dihadapkan pada dilema memenuhi permintaan yang terus meningkat. Permintaan sebesar 30-40 kg per pengiriman memaksa mereka untuk melakukan panen dalam skala besar setiap minggu.


"Saat ini, permintaan maggot sangat tinggi. Setiap hari ada yang mampir atau menghubungi kami, terutama untuk kebutuhan mancing. Namun, permintaan besar seperti 50 kg hanya terjadi seminggu sekali tergantung siklus panen," ungkap Edy.


Dalam kurun waktu satu hari, Rumah Maggot berhasil mengolah sekitar 2 kg sampah organik menjadi bobot maggot seberat 10-15 kg. Hasil dari proses penguraian sampah ini tidak hanya menghasilkan maggot, melainkan juga tanah subur yang dijual dengan harga Rp 8.000,- per 5 kg. Platform online seperti Shopee turut menjadi saluran penjualan yang semakin diminati, dengan harga penawaran tanah subur mencapai Rp 10.000,- per kg.


Lalat Tentara Hitam (Black Soldier Fly/BSF), Hasil dari Transformasi Fase Larva Maggot, Rumah Maggot “Migunani”, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (2/12/2023).

Foto: Aurelius Fransisco

Tanah subur yang dihasilkan merupakan bukti konkret dari kotoran dari maggot dapat menjadi sumber daya berharga. Lalat Tentara Hitam (Black Soldier Fly/BSF) juga memainkan peran kunci dalam proses ini, dan Edy juga menjelaskan secara rinci siklus hidup lalat tersebut.


Meskipun kolam lele di sekitar rumah sudah berhasil diwujudkan, program ini memiliki tujuan untuk menggunakan maggot sebagai pakan untuk ayam. Hal ini dilakukan agar kotoran yang dihasilkan oleh ayam dapat kembali dimanfaatkan oleh maggot. Selain itu, telur yang dihasilkan oleh ayam akan menjadi sumber protein yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar.


"Sampah organik bisa terurai semua, khususnya di RT sini. Lingkup masih kecil, harapan saya RT sini dulu baru kita luaskan ke area lainnya. Harapannya, bisa tingkatkan ekonomi pelan-pelan dan sampah bisa terurai," kata Edy Setyawan.


Tantangan terbesar yang dihadapi Rumah Maggot saat ini adalah masalah tenaga yang terbatas. Dengan hanya 12 orang yang terlibat dalam pengelolaan, terutama pada hari Sabtu dan Minggu, mereka sering mengalami kesibukan yang membuat pengelolaan sampah menjadi sulit. Kendala lainnya adalah penurunan drastis setoran sampah secara tiba-tiba, yang kemudian dievaluasi secara rutin untuk menjaga kelancaran program ini.


Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Rumah Maggot "Migunani" tetap berkomitmen untuk terus membawa inovasi dan memberikan solusi terhadap permasalahan lingkungan, sekaligus memberdayakan masyarakat lokal. Dengan harapan besar dan tekad kuat, Rumah Maggot menjadi contoh nyata keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat menciptakan dampak positif yang signifikan.




Selain Rumah Maggot “Migunani”, berikut beberapa pengelola sampah rumah maggot di Yogyakarta, meliputi:

1. Omah Maggot Jogja

Alamat: Sumberharjo, Kec. Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Maggot BSF Sleman Jogja

Alamat: Tirtoadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

3. Rumah Maggot Barepan Bangkit

Alamat: Margoagung, Kec. Seyegan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

4. Griya Maggot

Alamat: Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.

5. Kandang Maggot Jogja

Alamat: Kricak, Kec. Tegalrejo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.


Reporter:

1. Aradea Ibnu Tsabit

2. Aurelius Fransisco

3. Syarah Adelia Nakano


Editor: Sabicha Ulinuha


Sumber: 

Kompas.com

sipsn.menlhk.go.id 

IPB Digitani

Post a Comment

4 Comments

  1. Wah saya baru tau kalo sampah bisa diolah pake uulat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener mas itu nanti kalo di uraikan pake maggot malah lebih cept prosesnya

      Delete
  2. Oiyaa? Saya kira kalo sampah organik biasanya cuma dibusukkan saja

    ReplyDelete
  3. Terima kasih jendela edukatif dan migunani, ini nambah pengetahuan banget

    ReplyDelete